Mr Thomas Daniel was interviewed by Harian Kompas (Indonesian daily) which appeared in Kompas, 26 December 2019

Oleh KRIS MADA,  26 December 2019

Laporan Akhir Tahun
ASEAN, Pandangan Indo-Pasifik, dan Upaya Mendamaikan Kawasan

Sepanjang tahun 2019, istilah Indo-Pasifik menjadi salah satu pokok hubungan antarnegara di sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sejumlah pihak menyampaikan tafsiran masing-masing atas istilah itu. Dibutuhkan jalan tengah untuk mempertemukan dan membumikan konsep-konsep itu.

”Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, AOIP) adalah upaya menempatkan sudut pandang ASEAN pada strategi Indo-Pasifik,” kata Thomas Daniel, peneliti hubungan internasional pada Institute of Strategic and International Studies (ISIS), Malaysia. ”ASEAN mencoba menghindari pertentangan walau tak dapat ditampik ada perbedaan tentang cara mengelola pandangan berlainan pada pemangku kepentingan atas masa depan kawasan.”

Kepala Kajian ASEAN The Habibie Center Ahmad Ibrahim Almuttaqi mengatakan, ASEAN sudah tepat menghasilkan AOIP yang menekankan pada penghormatan hukum, kerja sama, dan pembiasaan dialog. AOIP kembali menunjukkan keinginan ASEAN untuk tetap menjaga keseimbangan di kawasan penuh dinamika ini.

Thomas dan Ibrahim sepakat, tidak mudah bagi ASEAN menjalankan perannya di tengah persaingan negara-negara besar. Ruang untuk menjalankan peran itu semakin kecil. Ibrahim menekankan pada persaingan negara-negara besar yang mencoba mendominasi kawasan.

Stephen Nagy, pengajar International Christian University, Jepang, menyatakan, negara-negara besar di kedua samudra punya konsep masing-masing soal Indo-Pasifik. Jepang menekankan pandangan Indo-Pasifik pada kerja sama infrastruktur, keterhubungan antarnegara, dan perilaku berdasar aturan di lautan. Jepang tak mau pandangannya tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (FOIP) bertentangan dengan China.

”Pertumbuhan ekonomi Jepang dan kestabilan kawasan tak mungkin terwujud jika hubungan China-Jepang tidak diamankan,” tulis Nagy dalam artikel di The Japan Times.

Sorotan bagi AS-China

Dalam pandangan Indo-Pasifik yang disiarkan Kementerian Luar Negeri AS pada November 2019, Washington menekankan kedaulatan dan kemerdekaan setiap bangsa; penyelesaian sengketa secara damai; perdagangan bebas, adil, dan imbal balik berdasarkan investasi bebas, kesepakatan transparan; serta kepatuhan pada hukum internasional, termasuk kebebasan berlayar dan terbang.

Atas nama kebebasan berlayar, kapal-kapal perang AS bolak-balik melintas di dekat perairan di sekitar pulau-pulau yang diklaim China di Laut China Selatan. Masalahnya, Washington tidak hanya menerapkan kebebasan berlayar di Laut China Selatan.

”Konsep AS soal kebebasan berlayar menyulitkan kawan dan lawan. AS menerapkan konsep itu (untuk berlayar tanpa izin) di perairan negara yang bersahabat (dengan AS), seperti India, Indonesia, Vietnam, dan Filipina,” tulis Sujan R Chinoy, diplomat senior yang kini menjadi Direktur Jenderal Institute for Defence Studies and Analyses (IDSA), India, di The Indian Express.

Ia menyoroti pernyataan AS yang bolak-balik mengklaim bertindak berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Padahal, AS tidak meratifikasi konvensi itu sampai sekarang. Dalam tatanan hukum internasional, negara yang tidak meratifikasi suatu konvensi tidak bisa diikat, apalagi ditindak, dengan aturan dalam konvensi itu.

”Bagi negara besar, menghormati ketertiban berdasarkan aturan adalah pilihan, bukan keharusan. China dan anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kerap melanggar hukum internasional. Padahal, mereka mendapat kepercayaan menjaga perdamaian dan keamanan internasional,” tulis Brahma Chellaney, pakar kajian strategis India, di TheJapan Times.

Fakta itu mendorong Chellaney berpendapat, Indo-Pasifik tertib berdasar aturan internasional amat diperlukan. Sementara Nagy menekankan bahwa Indo-Pasifik tidak boleh dimaknai berdasarkan persaingan AS-China semata. Negara-negara lain harus mendorong pendekatan yang menekankan kerja sama dan melunakkan persaingan AS-China.

Kerja sama konkret

Pengajar politik internasional Universitas Pelita Harapan, Alexius Jemadu, mengatakan, Indo-Pasifik hanya akan bermakna jika diterapkan pada kerja sama konkret. ”Paling dekat adalah bagaimana menyambungkan konsep keterhubungan maritim yang diajukan setiap negara besar. Semua, pada prinsipnya, punya kesamaan tentang bagaimana membangun jalur logistik lintas negara,” ujarnya.

Meski bersaing satu sama lain, AS, Jepang, China, dan Korsel menawarkan program pengembangan infrastruktur di Indo-Pasifik. Negara-negara lain tidak perlu terjebak untuk memihak salah satu di antara mereka. Justru tawaran itu harus dimanfaatkan negara-negara di kawasan. Persaingan negara-negara besar tidak bisa dihindari.

Kerja sama infrastruktur juga bisa menjadi cara perwujudan konsep Indo-Pasifik. Inisiatif Indonesia untuk menggelar dialog kerja sama infrastruktur Indo-Pasifik adalah salah satu pelantar yang dapat dioptimalkan. ”Tidak perlu berkonsentrasi pada penafsiran Indo-Pasifik. Lebih penting mencari cara menerapkan konsep itu agar membawa manfaat bagi warga di kawasan,” tutur Alexius.

Nagy juga berpendapat senada. Bahkan, ia menyarankan bentuk lebih praktis. Kerja sama infrastruktur Indo-Pasifik tidak hanya soal mengirimkan bahan baku dan peralatan untuk membangun infrastruktur. Tidak kalah penting untuk mengirimkan pengacara dan akuntan yang akan membantu memastikan proyek-proyek dalam kerja sama itu berkelanjutan dan membawa manfaat. Negara-negara menengah juga dapat bekerja sama membangun tata kelola, tata tertib berbasis hukum, dan keterampilan untuk mengelola infrastruktur.

 

This article first appeared in the Harian Kompas on December 26, 2019

 

 

- Advertisement -